( Tulisan ini pernah nongkrong di majalah An Nuur sekitar bulan Oktober 2009, mudah-mudahan tidak kedaluwarsa.)
Jika
Saya Perhatikan semua kegiatan peningkatan
atau pengendalian mutu
pendidikan baik yang sifatnya penataran, diklat, worksoup bahkan
sertifikasi hanyalah menitikberatkan
pada perangkat keras, jarang sekali mengarah pada perangkat lunak atau soufwer.
{ istilah saya dalam masalah ini yang tujuannya hanya untuk memudahkan saya saja,
bukan untuk orang lain, maaf… PPAI yang ahli tidur }
Maksud
saya perangkat keras adalah menitikberatkan pada : perangkat pembelajaran,
berbagai macam metode, administrasi pendidikan, yang semuanya adalah merupakan
peningkatan secara fisik makanya sering disebut bukti fisik.
Sedang
yang saya maksud dengan perangkat lunak adalah lebih menitik beratkan pada
kemampuan keilmuan pribadi.
Supaya
lebih jelas perlu saya paparkan lebih spesifik, berikut ini :
Untuk
guru umum, misalnya : guru bahasa Indonesia, ekonomi, sejarah dsb, saya kira
tidak begitu ada masalah, namun bagi guru agama akan menjadi masalah besar, bahkan dapat merusak eksistensi dari
pendidikan agama itu sendiri. Dalam hal ini yang kami maksudkan adalah guru
agama yang tidak dapat membaca al Qur’an dengan baik, bagaimana mungkin ia dapat
memberikan contoh bacaan yang baik dan benar, lha wong ia tidak bisa mengaji,
maka yang akan terjadi adalah
pengrusakan arti, kalau sudah terjadi pengrusakan arti berarti akan merusak isi
kandungan ayat, misalnya saja : guru tersebut menyuruh muridnya, “ anak - anak
tulislah surat al FATEKAH, ini kan salah… apa artinya al fatekah, padahal yang
benar adalah al FATIHAH, misalnya lagi kalimat kholifah, jika lam nya dibaca
panjang maka artinya adalah pengganti Allah dimuka bumi, namun apabila lam nya
dibaca pendek artinya menjadi sangat jauh yaitu unta hamil. Lha kalau terjadi
demikian apakah tujuan pendidikan akan sampai ?
Padahal
fakta membuktikan, bahwa banyak guru – guru agama kita baik yang PNS atau
swasta tidak dapat membaca al Qur’an dengan baik. Yang menjadi pertanyaan besar
bagi saya adalah bagaimana cara mereka menyampaikan materi pembelajaran yang
didalamnya terdapat ayat-ayat al Qur’an,
misalnya surat al kafirun, padahal pada silabus tujuan pembelajarannya adalah
murid dapat membaca surat al kafirun dengan baik dan benar, yang dimaksud baik
dan benar adalah sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, kenyataannya guru tersebut
sama sekali tidak faham terhadap ilmu tajwid.
Uneg
uneg saya hingga sekarang adalah apakah peningkatan kwalitas guru agama
khususnya dalam bidang baca tulis al Qur ‘an itu bukan wewenang sekaligus
kwajiban PPAI.
PPAI AHLU AL-NAUM
Gus Iful
Tidak ada komentar:
Posting Komentar